Generasi milenial dan generasi setelahnya adalah kelompok usia yang dikenal paling konsumtif. Meski banyak yang sudah menyadari pentingnya investasi, namun sebagian besar justru memiliki kebiasaan keuangan yang dinilai kurang baik. Dua di antaranya adalah YOLO dan FOMO. Apa sebenarnya YOLO dan FOMO ini dan mengapa kedua konsep ini dianggap membahayakan kondisi keuangan generasi masa kini?
YOLO, Konsep yang Bisa Bikin Bangkrut
YOLO sendiri merupakan singkatan dari You Only Live Once. Slogan ini merupakan bentuk ekspresi tentang hari esok yang serba tidak pasti. Jason Vitug dalam bukunya You Only Live Once: The Roadmap to Financial Wellness and a Purposeful Life (2016) menyebut bahwa petuah YOLO mengajarkan generasi masa kini untuk memaksimalkan apa yang dimiliki saat ini dan melakukan semua dengan bebas.
Lantas, apa efek YOLO ini pada keuangan generasi muda? Menurut Prita Ghozie, CEO Zap Finance sebagaimana dilansir dari Tirto, konsep YOLO yang banyak diterapkan oleh generasi muda di tanah air dapat memberikan dampak psikologis dan finansial. Karena merasa bahwa hari ini adalah segalanya, banyak orang yang kemudian memilih untuk tidak memikirkan hari esok dengan menabung dan berinvestasi.
Sebagai gantinya, orang-orang yang punya pola pikir ini akan lebih konsumtif dalam menghabiskan uangnya. Mereka akan menggunakan penghasilan yang dimiliki untuk kegiatan yang bersifat pengalaman atau experienced buying. Contoh paling dekat dan mudah yang bisa kita lihat adalah banyaknya anak-anak muda yang memilih menonton konser atau pelesiran ke luar negeri dengan alasan menikmati hari ini.
Besarnya keinginan untuk membeli pengamalan ini ternyata tidak sebanding dengan penghasilan yang dimiliki. Banyak yang kemudian memilih berutang, mencicil atau menggunakan kartu kredit untuk mendapatkan pengalaman yang mereka inginkan. Ini bisa membuat kondisi keuangan seseorang memburuk hingga ke tahap bangkrut.
FOMO, Sindrom Takut Ketinggalan Tren
Mirip dengan YOLO, FOMO juga merupakan konsep yang banyak diterapkan oleh generasi masa ini. Singkatan dari Fear of Missing Out ini pertama kali diperkenalkan oleh ahli marketing bernama Dan Herman pada tahun 2000-an. FOMO merupakan gambaran kondisi psikologis seseorang yang merasa takut dirinya tidak mengikuti tren yang ada.
Pada generasi milenial dan generasi-generasi setelahnya, FOMO adalah sindrom yang jelas membahayakan kondisi keuangan. Banyak orang yang terjebak dalam situasi di mana tren adalah dewa. Artinya, apa yang terjadi dan apa yang dirilis di pasaran harus mereka miliki. Agar tidak dianggap ketinggalan zaman, mereka rela menggelontorkan uang dalam jumlah besar.
Dampak paling umum yang terjadi dari kebiasaan mengikuti tren ini adalah pengeluaran yang membengkak melebihi penghasilan. Kecanduan akan FOMO membuat orang rela melakukan segala cara mulai dari memanfaatkan kartu kredit sampai mengajukan pinjaman online tanpa mengukur kemampuan mereka dalam melunasinya. Kalau dibiarkan terus berlangsung, FOMO akan menjadi racun dan membuat keuangan Anda menjadi tidak sehat.
Baik FOMO dan YOLO sebenarnya tidak selalu bermakna negatif. Selagi Anda menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan menguntungkan, kedua konsep ini bisa membawa keuntungan. Konsep YOLO misalnya, bisa Anda terapkan untuk memulai investasi sekarang juga tanpa ada keinginan menunda-nunda. Sementara FOMO harus dijadikan sebagai pemantik untuk menyalakan semangat ikut tren investasi.
Hidup ini sebenarnya tidak perlu muluk-muluk dan buru-buru. Mulai segalanya dari yang paling kecil dan sederhana. Salah satunya adalah dengan menyisihkan uang Rp10 ribu untuk memulai tabungan emas Anda di IndoGold.